LEMBAGA KEPEDULIAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN INDEPENDEN (LKP2i)

RENCANA PROGRAM KERJA
DIVISI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN




I. PEMBERDAYAAN JANDA DAN PSK MELALUI PELATIHAN MENJAHIT

Keberadaan Janda dan PSK dalam masyarakat kita adalah sama-sama korban dari munculnya permasalahan dalam rumah tangga. Janda dalam hal ini adalah korban perpisahan dalam rumah tangga, baik pisah karena munculnya konflik dengan lelaki atau pisah karena lelakinya (suami) meninggal dunia.
Sementara PSK adalah muncul dari beberapa permasalahan yang melingkupi keberadaan personal. Tak jarang para PSK ini juga mumcul dari mereka-mereka yang masih berusia sekolah, mereka adalah juga korban dari permasalahan dalam rumah tangga. permasalahan ekonomi, orang tua broken home atau pengalaman pibadi yang mempengaruhi kondisi psikologi. Mereka (PSK) ada juga korban pelecehan seksual, akhirnya profesi PSK sebagai pelarian yang sebenarnya tidak mereka kehendaki.
Masalah yang melingkupi mereka para janda dan PSK adalah masalah ekonomi. Para janda tak berdaya secara ekonomi akibat dari perpisahan dengan lelaki (sumianya). Dan mereka PSK menjalani profesi yang dalam keberadan di masyarakat adalah negatif.

TUJUAN
- Memberikan ketrampilan tambahan kepada para janda dan PSK di masyarakat.
- Membantu para janda dan PSK anggota LKP2i dalam mengembangkan skill dan ketrampilan terutama menjahit.

SASARAN
Sasaran kegiatan pelatihan menjahit ini adalah para jandan dan PSK anggota LKP2i yang yang secara ekonomi lemah.


TARGET
Peserta dilatih hingga bisa dan mampu secara mandiri dalam hal ketrampilan menjahit.
Peserta diharapkan mampu secara mandiri untuk mengembangkan usaha menjahit.


II. PEMBERDAYAAN JANDA DAN PSK MELALUI PELATIHAN SALON
(POTONG RAMBUT)

Jasa potong rambut bisa dikatakan kebutuhan pokok di masyarakat, sehingga konsumen potong rambut adalah jelas pasarnya. Hampir setiap orang membutuhkan jasa potong rambut, dari anak-anak perempuan, laki-laki, remaja hingga orang tua.
Melihat peluang jasa potong rambut seperti gambaran diatas, maka diadakanlah pelatihan salon potong rambut pada para Janda dan PSK anggota LKP2i. Pelatihan yang diadakan ini adalah sebagai wujud kepedulian terhadap potensi skil yang dimiliki oleh para perempuan, terutama mereka para Janda dan PSK.

TUJUAN
- Memberikan ketrampilan tambahan kepada para janda dan PSK anggota LKP2i
- Membantu para janda dan PSK anggota LKP2i dalam mengembangkan skill dan ketrampilan terutama ketrampilan salon potong rambut.

SASARAN
Sasaran kegiatan pelatihan salon potong rambut ini adalah para janda dan PSK anggota LKP2i yang secara ekonomi lemah.

TARGET
- Peserta dilatih hingga bisa dan mampu secara mandiri dalam hal ketrampilan jasa salon potong rambut.
- Peserta diharapkan mampu secara mandiri untuk mengembangkan usaha jasa salon potong rambut.

Sebuah Pemikiran

GURU NGAJI PAHLAWAN TERLUPAKAN

A. Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi bergerak semakin tak terbendung. Satu peristiwa yang terjadi disalah satu pojok muka bumi ini dapat disaksikan dalam waktu relatif bersamaan dibelahan bumi yang lain. System nilai dan system budaya suatu bangsa, cepat atau lambat, akan berpengaruh terhadap system nilai atau budaya bangsa lain.

Bagi negara berkembang, globalisasi tidak senantiasa menguntungkan. Disamping dampak positif, globalisasi mempunyai dampak negatif yang tidak mudah dinafikan. Sistem nilai dan budaya bangsa-bangsa dinegara berkembang cenderung tidak mampu menahan arus globalisasi yang pada akhirnya tidak lebih sebagai arus westernisasi. Walaupun tidak selalu berdampak negatif, jika kita tidak kritis & selektif dalam memanfa’atkannya, akan jauh lebih merusak dan berbahaya.

Namun demikian, ditengah gempuran arus modernisasi yang luar biasa dahsyat, dinegeri ini masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dan mencurahkan perhatiannya untuk meminimalkan dampak negatif globalisasi. Diantara mereka misalnya guru ngaji yang mererupakan bagian dari kelompok yang memberikan resistensi cultural terhadap dampak negatif globalisasi sebagaimana budayawan, intelektual dsb.

B. Kondisi Sosial Guru Ngaji

Lingkungan tempat tinggal kita adalah satu titik di muka bumi, artinya bahwa berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain, dapat disaksikan oleh masyarakat kita. Demikian pula system nilai, budaya dan style of life masyarakat, secara langsung atau tidak langsung akan berkembang sejalan dengan arus globalisasi dan mendapatkan pengaruh dari belahan dunia lainnya (sebut saja budaya barat yang memang merupakan kekuatan hegemony di era globalisasi ini).

Dalam konteks demikian, guru ngaji merupakan “ garda depan “ yang melakukan perlawanan cultural terhadap dampak globalisasi, setidaknya dilingkungan masing-masing. Artinya, guru ngaji merupakan variable penting dalam meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Rendahnya tingkat kriminalitas atau pelanggaran hukum sampai kadar tertentu tidak pernah lepas dari kontribusi guru ngaji dalam membina lingkungannya. Guru ngaji tidak saja mengenalkan dan mengajarkan baca tulis Al quran pada masyarakat, tetapi juga merupakan kelompok penjaga system nilai dilingkungannya. Dengan demikian keberadaan guru ngaji menjadi semakin penting dan diperlukan di era globalisasi ini. Secara sosiologis dapat didefinisikan bahwa guru ngaji adalah “ jabatan “ social yang lebih banyak diberikan oleh masyarakat disekitarnya, bukan oleh negara. Karena itu guru ngaji dapat dikatagorikan tokoh informal dalam masyarakatnya.

Namun, kendati mempunyai posisi dan peran sangat penting, guru ngaji tidak pernah mendapatkan perhatian dari pihak lain, apalagi penghargaan yang sesuai dengan kontribusi yang telah disumbangkannya kepada bangsa dan negara. Untuk itu lahir usulan dan pemikiran untuk “Memberi penghargaan terhadap perjuangan guru ngaji”.

Berdasar wacana diatas, maka yang pantas diberikan kepada mereka bukan hanya pemberian bantuan meteri semata, melainkan tindakan nyata yang lebih bersifat inmateri dan bermanfa’at bagi guru ngaji, Katakanlah, penciptaan kondisi sosial yang kondusif bagi kehidupan mereka, segala macam bentuk bantuan mungkin saja positif dan menggembirakan. Tetapi harus juga dilihat dampak negatif yang akan beresiko merusak atau setidaknya mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri. Misalnya, dari semula guru ngaji tidak pernah mempunyai harapan selain libtigho’i mardlotillah (mencari keridloan Allah) , Tetapi jika satu kali saja menerima bantuan dengan sistem yang tidak memberdayakan mereka, maka mental ketagihan untuk menerima bantuan kembali akan muncul dalam benak guru ngaji. Dan pada puncaknya, rasa “ ketagihan “ semacam itu akan sedikit banyak mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji, sebut saja sifat zuhud dan qona’ah yang memang menjadi akhlaq dan ciri has guru ngaji . Artinya jika semula guru ngaji bersifat zuhud dan qona’ah, maka kedua sifat tersebut

dikhawatirkan akan hilang atau sedikitnya mengalami erosi. Yang lebih tragis lagi adalah jika kesenangan menerima bantuan berubah menjadi ketergantungan.

Maka dapat disimpulkan, bahwa tidaklah sebuah bantuan materi itu selalu lebih baik, terlebih bilamana menjadikan si penerima selalu dalam posisi “ tangan di bawah “

C. Transformasi dari “tangan dibawah” menjadi “tangan diatas”

Bantuan kesejahteraan kepada guru ngaji mempunyai sisi positif dan negatif. Tetapi, agaknya, dampak negatifnya akan lebih besar, terutama ketika dikaitkan dengan “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri. Namun demikian, bukan berarti harus menghentikan sama sekali memberikan bantuan kepada guru ngaji. Yang penting disini adalah bagaimana memberikan bantuan dengan cara dan metode yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap “ stabilitas “ mental guru ngaji itu sendiri, sebagai pihak yang berada pada posisi “ tangan dibawah “ .dan akan lebih baik lagi ketika bantuan semacam itu mampu memposisikan guru ngaji sebagai “tangan diatas”. Dengan sebuah bantuan , dapat menjadikan guru ngaji sebagai pihak “ Tangan diatas “ bukan hal mustahil dan tidak terlalu sulit ketika dana bantuan itu dikelola secara tepat. Teknisnya bagaimana? Hal tersebut akan lebih tepat manakala dikaji oleh tenaga-tenaga profesional (ekonom), barangkali salah satu dari banyak teknis adalah ;misalnya, dana bantuan itu tidak diberikan sekaligus kepada guru ngaji. Tetapi berangsur atau bertahap, dan dijadikan modal usaha bersama sesama guru ngaji yang dapat diambil selama satu tahun. Dengan demikian seorang guru ngaji akan mendapat bagian dari hasil yang dikelola. Insya Allah, jika pengelolaan dana yang diberikan kepada guru ngaji berjalan sesuai harapan, maka guru ngaji tidak akan menjadi kelompok yang selalu menengadahkan tangan, pada satu saat berbalik menjadi berada pada posisi “tangan di atas.”

Wallahu a’lam.


Back to Home

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT SECARA HUMANIS

Mekanisme distribusi zakat fitrah belakangan ini mendorong pemikiran untuk mengkaji ulang makna implisit zakat yang terdapat di dalamnya, tentua saja dalam perspektif rahmatan lil 'alamiin. Sebab kalau diperhatikan secara dekat, mekanisme distribusi zakat fitrah memperlihatkan mekanisme dan cara yang sedikit banyak menyimpang atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip rahmatan lil 'alamiin diatas, sehingga dikhawatirkan menghilangkan makna dari zakat fitrah itu sendiri; misalkan, akan melahirkan sikap rendah diri pada para mustahiq ( pihak yang berhak atas zakat ) dan disisi lain melahirkan sikap arogan pada pihak muzakki (pihak wajib zakat).

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka yang dianggap perlu untuk dikaji ulang, terkait dengan makna dan mekanisme distribusi zakat fitrah meliputi:
  1. Pada dasarnya pihak muzakki adalah pihak yang jauh lebih berkepentingan atas dikeluarkannya zakat dibanding pihak mustahiq. Terkait dengan hal ini, bukankah nabi Muhammad saw telah memberikan statement bahwa diterima atau tidaknya puasa seorang hamba ( yang melakukan ibadah puasa ) tergantung pada zakat yang dikeluarkannya penting dikemukakan. ( Puasa seorang hamba digantungkan diantara langit dan bumi, sehingga dia mengeluarkan zakat ( fitrah-nya...). Pula, terlepas dari keterkaitan antara puasa dan zakat (fitrah ), Al Qur an menentukan bahwa di dalam harta seorang yang mampu ( mengeluarkan zakat ) terdapat hak orang lain yang harus di berikan kepada orang tersebut. Peringatan ini penting dikemukakan agar pihak muzakki tidak terjebak pada arogansi tersembunyi dalam mengeluarkan zakat.
  2. Zakat fitrah sebesar 2,5 kg meerupakan stimulus untuk tumbuh berkembangnya kepedulian dan kepekaan sosial ( social concern and careness) di antara ummat islam. Dengan zakat, ummat yang kebetulan diberikan kemampuan lebih akan terpanggil untuk peka dan peduli pada persoalan- persoalan (hidup) pihak yang lain yang lemah atau yang kurang beruntung. Dalam hal ini, maka zakat ( fitrah ) tidak bisa dipahami hanya dari perspektif formalisme yang menyatakan bahwa dengan mengeluarkan zakat sebesar 2,5 kg, persoalan menjadi selesai. Tidak demikian.
  3. Hal diatas ini terkait dengan cara dan mekanisme penyaluran zakat itu sendiri. Dalam ini, maka, dalam rangka mengejawantahkan makna zakat fitrah di atas, seorang muzakki sebaikknya menyalurkan sendiri zakat fitrahnya, tanpa bantuan dan perantara seorang 'amil sehingga muzakki mengetahui secara pasti kondisi kehidupan mustahiq. Pada saat itulah, kepekaan dan kepedulian muzakki terhadap yang lemah akan teruji, sebab si muzakki menjadi mengetahui bahwa kebutuhan orang yang di berikan zakatnya jauh lebih dari hanya 2,5 kg beras.
  4. Terkait dengan item ke tiga, 'amil zakat sebaiknya lebih berfungsi sebagai pihak atau lembaga yang melakukan pendataan terhadap pihak yang berhak atas zakat, bukan menyalurkannya.
  5. Selain bernuansa humanis sebagaimana diatas, zakat ( Fitrah ) juga sangat peduli pada lingkungan, oleh karena itu, penyaluran zakat ( fitrah ) harus memperhatikan lingkungan terdekat pihak muzakki. Dengan kata lain, menyalurkan zakat ( fitrah ) secara benar, harus kepada orang-orang yang secara geografis berada di sekitar lingkungan muzakki, sebagai prioritas. Di sini, maka zakat ( fitrah ) ala PNS pantas dijadikan keprihatinan dan persoalan bersama. Bagaimana seorang tinggal di lokasdi A misalkan, mengeluarkan zakatnya kepada orang lain di lokasi yang jauh dari lingkungannya. Mengapa upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan kepedulian dan kepekaan sosial dihapuskan hanya karena alasan efisiensi.

Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah apakah mekanisme distribusi zakat sebagaimana lazim sekarang di masyarakat mampu menciptakan kondisi bagi terealisirnya makna zakat secara humanis atau zakat yang sejalan dengan prinsip rahmatan lil 'alamiin.

Wallahu a'lam bis showab.



Home