MEMAHAMI MAKNA ZAKAT SECARA HUMANIS

Mekanisme distribusi zakat fitrah belakangan ini mendorong pemikiran untuk mengkaji ulang makna implisit zakat yang terdapat di dalamnya, tentua saja dalam perspektif rahmatan lil 'alamiin. Sebab kalau diperhatikan secara dekat, mekanisme distribusi zakat fitrah memperlihatkan mekanisme dan cara yang sedikit banyak menyimpang atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip rahmatan lil 'alamiin diatas, sehingga dikhawatirkan menghilangkan makna dari zakat fitrah itu sendiri; misalkan, akan melahirkan sikap rendah diri pada para mustahiq ( pihak yang berhak atas zakat ) dan disisi lain melahirkan sikap arogan pada pihak muzakki (pihak wajib zakat).

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka yang dianggap perlu untuk dikaji ulang, terkait dengan makna dan mekanisme distribusi zakat fitrah meliputi:
  1. Pada dasarnya pihak muzakki adalah pihak yang jauh lebih berkepentingan atas dikeluarkannya zakat dibanding pihak mustahiq. Terkait dengan hal ini, bukankah nabi Muhammad saw telah memberikan statement bahwa diterima atau tidaknya puasa seorang hamba ( yang melakukan ibadah puasa ) tergantung pada zakat yang dikeluarkannya penting dikemukakan. ( Puasa seorang hamba digantungkan diantara langit dan bumi, sehingga dia mengeluarkan zakat ( fitrah-nya...). Pula, terlepas dari keterkaitan antara puasa dan zakat (fitrah ), Al Qur an menentukan bahwa di dalam harta seorang yang mampu ( mengeluarkan zakat ) terdapat hak orang lain yang harus di berikan kepada orang tersebut. Peringatan ini penting dikemukakan agar pihak muzakki tidak terjebak pada arogansi tersembunyi dalam mengeluarkan zakat.
  2. Zakat fitrah sebesar 2,5 kg meerupakan stimulus untuk tumbuh berkembangnya kepedulian dan kepekaan sosial ( social concern and careness) di antara ummat islam. Dengan zakat, ummat yang kebetulan diberikan kemampuan lebih akan terpanggil untuk peka dan peduli pada persoalan- persoalan (hidup) pihak yang lain yang lemah atau yang kurang beruntung. Dalam hal ini, maka zakat ( fitrah ) tidak bisa dipahami hanya dari perspektif formalisme yang menyatakan bahwa dengan mengeluarkan zakat sebesar 2,5 kg, persoalan menjadi selesai. Tidak demikian.
  3. Hal diatas ini terkait dengan cara dan mekanisme penyaluran zakat itu sendiri. Dalam ini, maka, dalam rangka mengejawantahkan makna zakat fitrah di atas, seorang muzakki sebaikknya menyalurkan sendiri zakat fitrahnya, tanpa bantuan dan perantara seorang 'amil sehingga muzakki mengetahui secara pasti kondisi kehidupan mustahiq. Pada saat itulah, kepekaan dan kepedulian muzakki terhadap yang lemah akan teruji, sebab si muzakki menjadi mengetahui bahwa kebutuhan orang yang di berikan zakatnya jauh lebih dari hanya 2,5 kg beras.
  4. Terkait dengan item ke tiga, 'amil zakat sebaiknya lebih berfungsi sebagai pihak atau lembaga yang melakukan pendataan terhadap pihak yang berhak atas zakat, bukan menyalurkannya.
  5. Selain bernuansa humanis sebagaimana diatas, zakat ( Fitrah ) juga sangat peduli pada lingkungan, oleh karena itu, penyaluran zakat ( fitrah ) harus memperhatikan lingkungan terdekat pihak muzakki. Dengan kata lain, menyalurkan zakat ( fitrah ) secara benar, harus kepada orang-orang yang secara geografis berada di sekitar lingkungan muzakki, sebagai prioritas. Di sini, maka zakat ( fitrah ) ala PNS pantas dijadikan keprihatinan dan persoalan bersama. Bagaimana seorang tinggal di lokasdi A misalkan, mengeluarkan zakatnya kepada orang lain di lokasi yang jauh dari lingkungannya. Mengapa upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan kepedulian dan kepekaan sosial dihapuskan hanya karena alasan efisiensi.

Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah apakah mekanisme distribusi zakat sebagaimana lazim sekarang di masyarakat mampu menciptakan kondisi bagi terealisirnya makna zakat secara humanis atau zakat yang sejalan dengan prinsip rahmatan lil 'alamiin.

Wallahu a'lam bis showab.



Home