Sebuah Pemikiran

GURU NGAJI PAHLAWAN TERLUPAKAN

A. Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi bergerak semakin tak terbendung. Satu peristiwa yang terjadi disalah satu pojok muka bumi ini dapat disaksikan dalam waktu relatif bersamaan dibelahan bumi yang lain. System nilai dan system budaya suatu bangsa, cepat atau lambat, akan berpengaruh terhadap system nilai atau budaya bangsa lain.

Bagi negara berkembang, globalisasi tidak senantiasa menguntungkan. Disamping dampak positif, globalisasi mempunyai dampak negatif yang tidak mudah dinafikan. Sistem nilai dan budaya bangsa-bangsa dinegara berkembang cenderung tidak mampu menahan arus globalisasi yang pada akhirnya tidak lebih sebagai arus westernisasi. Walaupun tidak selalu berdampak negatif, jika kita tidak kritis & selektif dalam memanfa’atkannya, akan jauh lebih merusak dan berbahaya.

Namun demikian, ditengah gempuran arus modernisasi yang luar biasa dahsyat, dinegeri ini masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dan mencurahkan perhatiannya untuk meminimalkan dampak negatif globalisasi. Diantara mereka misalnya guru ngaji yang mererupakan bagian dari kelompok yang memberikan resistensi cultural terhadap dampak negatif globalisasi sebagaimana budayawan, intelektual dsb.

B. Kondisi Sosial Guru Ngaji

Lingkungan tempat tinggal kita adalah satu titik di muka bumi, artinya bahwa berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain, dapat disaksikan oleh masyarakat kita. Demikian pula system nilai, budaya dan style of life masyarakat, secara langsung atau tidak langsung akan berkembang sejalan dengan arus globalisasi dan mendapatkan pengaruh dari belahan dunia lainnya (sebut saja budaya barat yang memang merupakan kekuatan hegemony di era globalisasi ini).

Dalam konteks demikian, guru ngaji merupakan “ garda depan “ yang melakukan perlawanan cultural terhadap dampak globalisasi, setidaknya dilingkungan masing-masing. Artinya, guru ngaji merupakan variable penting dalam meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Rendahnya tingkat kriminalitas atau pelanggaran hukum sampai kadar tertentu tidak pernah lepas dari kontribusi guru ngaji dalam membina lingkungannya. Guru ngaji tidak saja mengenalkan dan mengajarkan baca tulis Al quran pada masyarakat, tetapi juga merupakan kelompok penjaga system nilai dilingkungannya. Dengan demikian keberadaan guru ngaji menjadi semakin penting dan diperlukan di era globalisasi ini. Secara sosiologis dapat didefinisikan bahwa guru ngaji adalah “ jabatan “ social yang lebih banyak diberikan oleh masyarakat disekitarnya, bukan oleh negara. Karena itu guru ngaji dapat dikatagorikan tokoh informal dalam masyarakatnya.

Namun, kendati mempunyai posisi dan peran sangat penting, guru ngaji tidak pernah mendapatkan perhatian dari pihak lain, apalagi penghargaan yang sesuai dengan kontribusi yang telah disumbangkannya kepada bangsa dan negara. Untuk itu lahir usulan dan pemikiran untuk “Memberi penghargaan terhadap perjuangan guru ngaji”.

Berdasar wacana diatas, maka yang pantas diberikan kepada mereka bukan hanya pemberian bantuan meteri semata, melainkan tindakan nyata yang lebih bersifat inmateri dan bermanfa’at bagi guru ngaji, Katakanlah, penciptaan kondisi sosial yang kondusif bagi kehidupan mereka, segala macam bentuk bantuan mungkin saja positif dan menggembirakan. Tetapi harus juga dilihat dampak negatif yang akan beresiko merusak atau setidaknya mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri. Misalnya, dari semula guru ngaji tidak pernah mempunyai harapan selain libtigho’i mardlotillah (mencari keridloan Allah) , Tetapi jika satu kali saja menerima bantuan dengan sistem yang tidak memberdayakan mereka, maka mental ketagihan untuk menerima bantuan kembali akan muncul dalam benak guru ngaji. Dan pada puncaknya, rasa “ ketagihan “ semacam itu akan sedikit banyak mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji, sebut saja sifat zuhud dan qona’ah yang memang menjadi akhlaq dan ciri has guru ngaji . Artinya jika semula guru ngaji bersifat zuhud dan qona’ah, maka kedua sifat tersebut

dikhawatirkan akan hilang atau sedikitnya mengalami erosi. Yang lebih tragis lagi adalah jika kesenangan menerima bantuan berubah menjadi ketergantungan.

Maka dapat disimpulkan, bahwa tidaklah sebuah bantuan materi itu selalu lebih baik, terlebih bilamana menjadikan si penerima selalu dalam posisi “ tangan di bawah “

C. Transformasi dari “tangan dibawah” menjadi “tangan diatas”

Bantuan kesejahteraan kepada guru ngaji mempunyai sisi positif dan negatif. Tetapi, agaknya, dampak negatifnya akan lebih besar, terutama ketika dikaitkan dengan “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri. Namun demikian, bukan berarti harus menghentikan sama sekali memberikan bantuan kepada guru ngaji. Yang penting disini adalah bagaimana memberikan bantuan dengan cara dan metode yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap “ stabilitas “ mental guru ngaji itu sendiri, sebagai pihak yang berada pada posisi “ tangan dibawah “ .dan akan lebih baik lagi ketika bantuan semacam itu mampu memposisikan guru ngaji sebagai “tangan diatas”. Dengan sebuah bantuan , dapat menjadikan guru ngaji sebagai pihak “ Tangan diatas “ bukan hal mustahil dan tidak terlalu sulit ketika dana bantuan itu dikelola secara tepat. Teknisnya bagaimana? Hal tersebut akan lebih tepat manakala dikaji oleh tenaga-tenaga profesional (ekonom), barangkali salah satu dari banyak teknis adalah ;misalnya, dana bantuan itu tidak diberikan sekaligus kepada guru ngaji. Tetapi berangsur atau bertahap, dan dijadikan modal usaha bersama sesama guru ngaji yang dapat diambil selama satu tahun. Dengan demikian seorang guru ngaji akan mendapat bagian dari hasil yang dikelola. Insya Allah, jika pengelolaan dana yang diberikan kepada guru ngaji berjalan sesuai harapan, maka guru ngaji tidak akan menjadi kelompok yang selalu menengadahkan tangan, pada satu saat berbalik menjadi berada pada posisi “tangan di atas.”

Wallahu a’lam.


Back to Home